Foto : KH. Ahmad Munawwir
oleh: Muhammad Zaki Fahmi dan Lilik Maryanto*
“Ketika
seseorang telah memantapkan hati untuk menjadi seorang hamba yang menjaga
kalamNya. Tentunya ada tanggung jawab besar yang dipegangnya, yaitu dengan
tetap istiqomah nderes Quran meskipun sudah hafal. Sebab hafalan bila
tak pernah dibaca juga akan lupa. Begitu pula yang dilakukan oleh KH Ahmad
Munawwir. Beliau senantiasa nderes supaya tetap terjaga hafalan
Qurannya. Pun bukan sekedar hafal akan tetapi juga sudah menjadi tabiat bagi
ahli Quran untuk mengamalkan apa yang ada dalamnya. Jadi pastilah beliau
merupakan sosok yang istiqomah “.
******
Al ajru ‘ala
Qodri Ta’bin, hasil itu sesuai dengan apa yang
diusahakan. Mungkin ungkapan itulah yang cocok disematkan kepada sosok almarhum
syaikhona KH. Ahmad Munawwir. Gus Mad, panggilan KH. Ahmad Munawwir, dikenal
sebagai ahli Quran pada zamannya. Tentu tak sembarangan orang dapat mencapai maqom
tersebut. Perlu usaha keras untuk sampai pada tahapan itu. Begitupun KH Ahmad
Munawwir yang semasa muda, ketika itu berumur 21 tahun, berusaha keras menuntut
ilmu di Jombang Jawa Timur.
Alif
Lam Mim, Dzalikal Kitabu Laa Raiba Fih.
Dua sahabat itu masih melantunkan ayat demi ayat dengan fashihnya. Walaupun tanpa pengeras suara, nada-nada yang
indah nan lembut itu terus menggema di seluruh sudut-sudut sebuah pondok
pesantren yang masih sederhana itu. Merekalah dua penghafal Al Quran yang
dipertemukan dalam satu ikatan yang kokoh. Tepatnya pada tahun 1958 M pertemuan
itu terjadi. Sosok pemuda penghafal al Quran dari Krapyak datang nyantri kepada
KH Umar Zahid, seorang Kyai karismatik di desa Semelo Jombang. Ya, di pondok
Semelo (sekarang PP. Umar Zahid ) kisah persahabatan Gus Mad dan Kang Masduki*
bermula.
Di kamar 1x2
meter, mereka mulai mengukir kisah. Hari-hari Gus Mad dilalui bersama dengan
Kang Masduki. Gus Mad mengajak Kang Maduki nderes bersama. Hal ini
dilakukan dengan cara membaca bergantian secara ayatan atau tiap satu ayat
bergantian. Cara ini Gus Mad lakukan ¼ juz per minggunya. Selama 4 tahun Gus
Mad melakukan semaan ayatan besama sahabatnya, sehingga dalam 4 tahun
Gus Mad khatam 2 kali. Dan ketika khatam yang kedua, KH Masduqi Zein Jombang
yang merupakan alumni Krapyak turut serta dalam mendoakan.
Meski Gus
Mad seorang Ahli Quran, namun tak lantas puas diri dengan ilmu Qurannya. Bahkan
Gus Mad juga masih haus akan ilmu yang lain seperti fiqih, tasawwuf, nahwu,dll.
Di pondok Semelo, Gus Mad belajar
berbagai kitab kuning kepada KH Zahid. Kitab ibnu Aqil, Hikam, Khasyiyah Bajuri
Gus Mad pelajari sampai khatam. Tak hanya di Semelo Gus Mad menuntut ilmu. Di
Bandung Jombang, Gus Mad juga mengaji kitab Syatibi, sebuah kitab turots
yang menjelaskan tentang ilmu Qiroah saba’ah. Jarak Semelo ke Bandung yang
sekitar 25 km Gus Mad tempuh dengan naik sepeda. Jarak yang teramat jauh tak
membuat Gus Mad malas untuk menuntut ilmu. Justru Gus Mad tetap semangat untuk tholabul
‘ilmi. Pun ketika tak ada kegiatan mengaji, Gus Mad senantiasa nderes hafalannya
sehingga tak waktu yang sia-sia.
Di Jawa
Timur khususnya Jombang semaan Quran dikenal dengan mudarosah. Gus
Mad dan Kang Masduqi merupakan orang yang pertama kali melakukan mudarosah
di Jombang bahkan Jawa Timur. Keduanya pertama kali melakukan mudarosah
di pondok Semelo. Lama-kelamaan banyak orang yang datang ke Semelo untuk
mendengarkan Gus Mad mudarosah meskipun pada waktu itu belum ada
pengeras suara.
Pernah suatu
ketika Gus Mad dijenguk oleh kakaknya, KH Abdul Qodir Munawwir. Sesuai
kebiasaan di keluarga Al Munawwir Krapyak, KH Abdul Qodir mengajak Gus Mad
untuk mudarosah di Ploso Kediri. KH Abdul Qodir naik becak dan Gus Mad
bersama KH Masduqi naik sepeda. Ketika itu Gus Mad bertiga dijamu oleh tuan
rumah dengan hidangan seekor kambing untuk bertiga. Akan tetapi, dibagikan oleh
Gus Mad kepada tetangga sekitar.
Gus Mad
semasa mondok di Semelo dikenal sebagai santri yang suka riyadloh. Gus
Mad selalu puasa sebagai bentuk riyadlohnya. Pernah suatu ketika Kang
Masduqi menanyakan perihal tersebut kepada Gus Mad. Kemudian dijawab oleh Gus
Mad,” Kersane kulo tasih diparingi sehat”. Semoga saya (Gus Mad) masih
diberi kesehatan. Bahkan selama nyantri pun Gus Mad tak pernah meminta kiriman
dari keluarga di Krapyak.
Kemudian
setelah KH Abdul Qodir Munawwir wafat, Gus Mad diminta oleh keluarga untuk
kembali ke Krapyak. Di Krapyak, ilmu yang Gus Mad miliki sangat dibutuhkan.
Terlebih sosok KH Abdul Qodir sebagai kiyai sepuh yang mengajarkan Quran di Krapyak
telah wafat. Gus Mad pun mendapat mandat untuk mengajarkan Quran meneruskan
perjuangan kakaknya. Berawal dari sinilah kisah Gus Mad sebagai seorang Kyai
Ahli Quran pada masanya dimulai.
Ketika
seseorang telah memantapkan hati untuk menjadi seorang hamba yang menjaga
kalamNya. Tentunya ada tanggung jawab besar yang dipegangnya, yaitu dengan
tetap istiqomah nderes Quran meskipun sudah hafal. Sebab hafalan bila
tak pernah dibaca juga akan lupa. Begitu pula yang dilakukan oleh KH Ahmad
Munawwir. Beliau senantiasa nderes supaya tetap terjaga hafalan
Qurannya.Pun bukan sekedar hafal akan tetapi juga sudah menjadi tabiat bagi
ahli Quran untuk mengamalkan apa yang ada dalamnya. Jadi pastilah Gus Mad
merupakan sosok yang istiqomah.
Semoga kita termasuk dalam hambaNya
yang istiqomah menjaga Al Quran.
*Kang Masduqi (KH Ahmad Masduqi AR )
merupakan pengasuh PP. Roudhotu Tahfidzil Qur'an Perak Jombang.
*Reporter LPS EL TASRIIH Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek L
0 komentar:
Posting Komentar