Ilustrasi: mikul
Oleh: Romadhoni*
Tidak
bisa dipungkiri perkembangan zaman yang sudah super gila ini, membuat sebagian
dari kita terlalu terlena dengannya. Bagaimana tidak,? Sumber-sumber
berita yang dulunya bisa didapat hanya dengan Koran, televisi, radio. Kini
hanya dengan beli kuota 4G dan tersambung dengan berbagai sosial media, justru
lebih mempermudah mentidakses berita yang tidak tau sumber ke orisinalnya. Kita
lebih mempercayai opini-opini yang terpampang dan ditulis oleh sebagian orang,
yang tujuannya tidak lain hanya untuk menguntungkan satu pihak demi menjatuhkan
pihak lain yang menjadi lawannya. Kita di jejali dengan berbagai stigma-stigma negatif,
dengan senjata yang tidak begitu tajam, tetapi lebih mematikan dari hanya
sekedar tombak sekalipun, yakni berupa tulisan.
Ya. Tulisan
yang di sebarluaskan inilah yang menjadi senjata mereka untuk menyerang,
menerkam, menjatuhkan, bahkan bisa terprovokasi sekaligus. Kalau dulu ada
maqolah yang intinya bahwa ‘orang bisa dibunuh bahkan bisa membunuh hanya
karena mulut atau omongannya. Dan menurut saya, kini mulut yang dimaksud di
maqolah tersebut itu lebih ketulisan yang dibuat. Mereka menulis berbagai hal
tentang diri seseorang untuk selanjutnya di beritidakan secara sosial tanpa ada
persetujuan dari orang yang diberitidakan, hanya untuk menuangkan opini yang tidak
tahu arah maksudnya. Jadilah banyaknya penafsiran, pemahaman, atau sudut
pandang berbeda dari apa yang dia tulis dari para pelaku sosial.
Penilaian-penilaian pun tidak bisa terbendungi. Berbagai statement-statement
pun mulai bermunculan di media sosial, tidak ubahnya kentut yang dengan
sendirinya keluar tanpa diharapkan.
Omong-omong kentut sepertinya bisa dikorelasikan
dengan penulis menuliskan seseorang justru membuat orang itu geram. Kebanyakan
dari orang menganggap kalau bau kentut itu adalah sumber dari emosi kemarahan. Berbeda
dengan orang yang mengeluarkan kentut
itu sendiri, dia tanpa ada rasa salah sekalipun menganggap bahwa ini adalah
rezeki yang tuhan berikan, kalau tidak dikeluarkan maka akan jadi penyakit bagi
dirinya. Tidak berfikir kalau orang disekitarnya yang merasa terdholimi oleh
kebrutalan bau kentutnya. Dan dia kali ini lupa, kalau ada orang lain yang
mengentutinya maka dia akan merasa didholimi oleh orang tersebut bahkan
meluapkan emosi kemarahannya, meskipun tidak tersalur dengan gaya mata atau
pukulan, paling tidak dia akan menghindar untuk meluapkan keemosiannya. Dan
begitu sebaliknya orang yang mengentutinya akan merasa ini adalah sebuah
anugrah yang besar. Dan begitu seterusnya.
Mungkin ini harus kembali ke topik awal, sebelum kalian terbawa suasana
masalah yang sensitif, tapi dibiarkan mengambang begitu saja dipusaran pondok
pesantren kita. Kayaknya tidak akan habis-habisnya membahas persoalan kentut
yang akhir-akhir ini jarang diberitidakan dan menjadi resah masyarakat olehnya.
Padahal ini adalah masalah sosial yang paling tidak didiskusikan bagaimana
kalau ada tempat khusus pembuangan kentut. Haha bercanda.
Kembali ke topik
awal. Lebih parahnya lagi, mereka untuk sementara rela menjadi seperti orang yang bertugas di lembaga
“intelijen”, mengendap-ngendap, rela terbelusuk di bagian-bagian yang mungkin tidak
terlihat oleh orang yang menjadi target, atau bisa saja, mereka menyamar,
melihat-lihat sekitar, untuk menemukan kesalahan-kesalahan orang yang menjadi
musuh bosnya, setelah itu dijadikanlah bahan berita yang selanjutnya akan di
sebar luaskan dengan gaya bahasa penulisan yang membuat banyak orang semakin
benci kepada target tersebut karena kesalahan yang dicari-cari oleh
“intelijen”.
Orang-orang seperti inilah yang
membuat citra buruk bagi segenap komunitas, kelompok, atau orang-orang yang
menggeluti dunia tulis, dan segenap para jurnalis yang benar-benar menulis
berita dengan sumber fakta yang ada, dan bisa dipertanggung jawabkan
keorisinalannya, tanpa menyinggung pihak manapun. Apabila ada yang tersinggung
bukan beritanya yang salah, tapi memang orang yang tersinggung itulah yang
menganggap berita tersebut tidak layak untuk di beritakan, orang ini
tersinggung kalau rakyat mengetahui berita tentangnya. Mereka menulis dengan
hati nurani, menulis berita demi rakyat, bukan untuk kepuasan pribadi ataupun
suatu kelompok. Adanya fakta ketidakadilan maka mereka tulis ketidakadilan, ada
korupsi mereka tidak akan takut untuk memberitakan korupsi. Mereka membuat
berita tidak sekedar dibuat-buat agar
lebih menarik atau lebih menggiurkan. Tapi sekali lagi, mereka MENULIS DEMI
RAKYAT.
*kamar vila atas (reporter LPS El Tasriih)
0 komentar:
Posting Komentar