Sabtu, 01 April 2017

MENULIS DEMI RAKYAT




Ilustrasi: mikul
Oleh: Romadhoni*
 
Tidak bisa dipungkiri perkembangan zaman yang sudah super gila ini, membuat sebagian dari kita terlalu terlena dengannya. Bagaimana tidak,? Sumber-sumber berita yang dulunya bisa didapat hanya dengan Koran, televisi, radio. Kini hanya dengan beli kuota 4G dan tersambung dengan berbagai sosial media, justru lebih mempermudah mentidakses berita yang tidak tau sumber ke orisinalnya. Kita lebih mempercayai opini-opini yang terpampang dan ditulis oleh sebagian orang, yang tujuannya tidak lain hanya untuk menguntungkan satu pihak demi menjatuhkan pihak lain yang menjadi lawannya. Kita di jejali dengan berbagai stigma-stigma negatif, dengan senjata yang tidak begitu tajam, tetapi lebih mematikan dari hanya sekedar tombak sekalipun, yakni berupa tulisan.     
Ya. Tulisan yang di sebarluaskan inilah yang menjadi senjata mereka untuk menyerang, menerkam, menjatuhkan, bahkan bisa terprovokasi sekaligus. Kalau dulu ada maqolah yang intinya bahwa ‘orang bisa dibunuh bahkan bisa membunuh hanya karena mulut atau omongannya. Dan menurut saya, kini mulut yang dimaksud di maqolah tersebut itu lebih ketulisan yang dibuat. Mereka menulis berbagai hal tentang diri seseorang untuk selanjutnya di beritidakan secara sosial tanpa ada persetujuan dari orang yang diberitidakan, hanya untuk menuangkan opini yang tidak tahu arah maksudnya. Jadilah banyaknya penafsiran, pemahaman, atau sudut pandang berbeda dari apa yang dia tulis dari para pelaku sosial. Penilaian-penilaian pun tidak bisa terbendungi. Berbagai statement-statement pun mulai bermunculan di media sosial, tidak ubahnya kentut yang dengan sendirinya keluar tanpa diharapkan.     
 Omong-omong kentut sepertinya bisa dikorelasikan dengan penulis menuliskan seseorang justru membuat orang itu geram. Kebanyakan dari orang menganggap kalau bau kentut itu adalah  sumber dari emosi kemarahan. Berbeda dengan orang  yang mengeluarkan kentut itu sendiri, dia tanpa ada rasa salah sekalipun menganggap bahwa ini adalah rezeki yang tuhan berikan, kalau tidak dikeluarkan maka akan jadi penyakit bagi dirinya. Tidak berfikir kalau orang disekitarnya yang merasa terdholimi oleh kebrutalan bau kentutnya. Dan dia kali ini lupa, kalau ada orang lain yang mengentutinya maka dia akan merasa didholimi oleh orang tersebut bahkan meluapkan emosi kemarahannya, meskipun tidak tersalur dengan gaya mata atau pukulan, paling tidak dia akan menghindar untuk meluapkan keemosiannya. Dan begitu sebaliknya orang yang mengentutinya akan merasa ini adalah sebuah anugrah yang besar. Dan begitu seterusnya.  Mungkin ini harus kembali ke topik awal, sebelum kalian terbawa suasana masalah yang sensitif, tapi dibiarkan mengambang begitu saja dipusaran pondok pesantren kita. Kayaknya tidak akan habis-habisnya membahas persoalan kentut yang akhir-akhir ini jarang diberitidakan dan menjadi resah masyarakat olehnya. Padahal ini adalah masalah sosial yang paling tidak didiskusikan bagaimana kalau ada tempat khusus pembuangan kentut. Haha bercanda.     

Kembali ke topik awal. Lebih parahnya lagi, mereka untuk sementara rela menjadi seperti  orang yang bertugas di lembaga “intelijen”, mengendap-ngendap, rela terbelusuk di bagian-bagian yang mungkin tidak terlihat oleh orang yang menjadi target, atau bisa saja, mereka menyamar, melihat-lihat sekitar, untuk menemukan kesalahan-kesalahan orang yang menjadi musuh bosnya, setelah itu dijadikanlah bahan berita yang selanjutnya akan di sebar luaskan dengan gaya bahasa penulisan yang membuat banyak orang semakin benci kepada target tersebut karena kesalahan yang dicari-cari oleh “intelijen”.

Orang-orang seperti inilah yang membuat citra buruk bagi segenap komunitas, kelompok, atau orang-orang yang menggeluti dunia tulis, dan segenap para jurnalis yang benar-benar menulis berita dengan sumber fakta yang ada, dan bisa dipertanggung jawabkan keorisinalannya, tanpa menyinggung pihak manapun. Apabila ada yang tersinggung bukan beritanya yang salah, tapi memang orang yang tersinggung itulah yang menganggap berita tersebut tidak layak untuk di beritakan, orang ini tersinggung kalau rakyat mengetahui berita tentangnya. Mereka menulis dengan hati nurani, menulis berita demi rakyat, bukan untuk kepuasan pribadi ataupun suatu kelompok. Adanya fakta ketidakadilan maka mereka tulis ketidakadilan, ada korupsi mereka tidak akan takut untuk memberitakan korupsi. Mereka membuat berita tidak sekedar dibuat-buat  agar lebih menarik atau lebih menggiurkan. Tapi sekali lagi, mereka MENULIS DEMI RAKYAT.  

*kamar vila atas (reporter LPS El Tasriih)  

eltasriih

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar